Building an Agile Team

Dibutuhkan tim yang tangguh untuk menghadapi situasi yang tidak mudah saat ini. Tim yang mampu beradaptasi dengan kecepatan perubahan, siap menghadapi tantangan yang kadang harus dihadapi sendirian, mampu berselancar di atas ombak ketidakpastian. Tim ini sering kita sebut sebagai tim yang agile.

Tim ini tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan sang manajer harus membentuk mereka. Dengan memiliki tim yang Agile, seorang HR Manager dapat fokus kepada nilai tambah. Mengapa? Pertama, karena seluruh anggota tim akan terfokus melakukan aktifitas yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Dengan terbatasnya orang, mereka akan memilih aktifitas mana yang akan menghasilkan hasil-hasil yang efektif dan berdampak.

Kedua, tim yang kita bangun ini lebih ramping dan produktif. Mengapa, karena kita fokus kepada aktifitas yang memberikan nilai tambah saja. Sehingga pekerjaan yang tidak menghasilkan banyak dampak dipangkas sedemikian dan tinggalkan pekerjaan yang benar-benar dibutuhkan. Pemborosan yang dalam proses dikurangi dan menghasilkan produktifitas yang tinggi.

Ketiga, dengan tim yang kecil dan fokus kepada nilai tambah ini menjadikan mereka adapatif terhadap perubahan. Tidak terjebak dalam proses dan banyaknya birokrasi yang memperlambat pengambilan keputusan dan tindakan-tindakan yang diperlukan.

Lalu, bagaimana cara membentuk tim HR yang agile? Mari kita simak satu persatu.

1. Keep looking for the first-class team members
Tim yang tangguh adalah kata kunci untuk membangun tim HR yang Agile. Kompetensi teknikal bukan satu-satunya faktor yang dapat menjadikan seorang karyawan sebagai first class employee, atau mungkin kita juga sering mengukur dengan achievement dia dalam posisi dan jawabat diperusahaan sebelumnya.

The first class employee disini adalah mereka yang memiliki mentalitas pejuang, persistensi, grit, dan konsistensi yang tinggi dalam setiap langkah mencapai tujuan. Orang-orang ini kita deteksi sebagai orang yang memiliki motivasi yang kuat dalam diri untuk mencapai hasil-hasil gemilang.

Kata kuncinya adalah kapasitas diri. Orang-orang ini seperti memiliki cangkir yang besar yang siap kita isi dengan berbagai hal yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Oleh karenanya, kita jangan terjebak dengan kualifikasi yang dicantumkan dalam cv. Lebih dalam dari itu, kita harus mampu mendeteksi apa sebenarnya yang ada dibalik pencapaian-pencapaian tersebut.

Teruslah mencari orang-orang ini untuk dijadikan sebagai team members kita. Selain pertanyaan “apa yang sedang Anda lakukan saat ini?’ lebih baik tanyakan juga “apa sebenarnya yang mendorong Anda untuk melakukan ini?” kemudian bisa juga bertanya “hal terburuk apa yang pernah Anda alami dan bagaimana Anda bangkit dari keterpurukan tersebut?”. Kita terus gali motif dan filosofi hidupnya yang mendorong dia untuk melakukan ini dan itu.

2. Build a great coalition
Team members yang sudah kita rekrut kemudian kita jahit menjadi tim yang solid. Tim yang memiliki frekuensi yang sama dalam nafas perjuangan. Membangun koalisi yang kuat merupakan tahap kedua dalam manajemen perubahan ala John Kotter. Koalisi yang kuat akan memungkinkan pekerjaan yang dilakukan tidak terasa berat dan penuh dengan nilai-nilai perjuangan.

Koalisi yang kuat dibangun diatas pondasi yang namanya ‘trus’. Sebuah buku yang berjudul ‘the speed of trust’ karya Stephen Covey menyebutkan bahwa kepercayaan dalam sebuah tim akan memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan produktifitas dan mencapai hasil-hasil secara efektif. Ini akan mengenyampingkan hal-hal yang tidak penting dalam proses kerja.

3. Business Acumen is a must
HR yang tidak faham bisnis akan bingung dan akibatnya akan asyik sendiri dengan keilmuan dan dunianya. Bahkan ia sendiri bingung bagaimana cara menggunakan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam bidang HR untuk dapat membantu perusahaan. Pergerakan tim tidak searah dengan bisnis yang mengakibatkan HR tidak dapat memberikan nilai tambah. Tentu ini keberadaan yang sangat tidak diinginkan.

Sebagai Business Partner, HR harus sangat align membantu bisnis. Setiap strategi dan action yang dilakukan harus memiliki output untuk meningkatkan kinerja bisnis. Jangan pernah berfikir untuk membuat sebuah program yang outputnya hanya untuk ‘nice to have’ apalai jika hanya ‘nice to know’.

Mencari dan mendidik team members HR yang benar-benar memahami bisnis akan memudahkan kita dalam setiap tindakan karena telah memiliki kompas acuan yang jelas yaitu acuan yang dapat mengarahkan pada bisnis. Merekrut, mendevelop, mengukur kinerja sampai dengan pensiun karyawan pun akan dengan mudah kita lakukan saat kita punya acuan yang mengarah ke bisnis.

4. Multi skill
Tim yang tangguh dan dengan jumlah yang tidak banyak harus kita bekali dengan keterampilan lintas fungsi. Buatlah ini menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi dan menjadi sebuah catatan prestasi bagi mereka. Yang harus diyakini bahwa, saat kita tepat dalam memilih tim yang tangguh, yang memiliki api perjuangan dalam dirinya, mereka akan dengan mudah terpacu untuk memiliki kemampuan lintas fungsi.

Dengan kemampuan ini, beban kerja tidak lagi menjadi sebuah tugas semata, malainkan sebagai sarana untuk naik kelas. Karena saya meyakini, orang-orang ini sudah punya path nya masing-masing. Dan untuk mencapai ke sana, mereka membutuhkan media dan sarana untuk membangun dirinya. Kitalah yang menyiapkannya.

Melakukan rotasi dan cross training antar fungsi HR menjadi media yang cukup efektif untuk melakukan pemerataan skill bagi team members kita. Lakukan sercara periodik sampai setiap anggota tim mengerti dan bisa melakukan semua pekerjaan di fungsi lainnya.

5. Simplify and automation process
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anggota tim ini, kita dapat melakukan perampingan proses dan automasi. Pekerjaan yang bersifat rutin dan administratif diserahkan kepada mesin-mesin yang konsisten.

Anggota tim akan fokus berkreasi menciptakan inovasi-inovasi yang mempermudah pekerjaan dan mengoptimalkan hasil. Fokus pada pengembangan talent dan membantu kinerja bisnis. Disinilah kita dapat melatih tim untuk berfikir strategis pada setiap level.

Berfikir strategis bukan hanya menjadi tanggung jawab para leader semata, melainkan pada setiap level. Mengapa? Karena tim yang memiliki path yang jelas, akan memposisikan dirinya satu level diatas posisi saat ini. Seorang supervisor yang bagus, dia harus sudah berfikir ala manager, dan seterusnya.

Dan harus diingat, bahwa mereka adalah the next leader yang menjalankan bisnis perusahaan. Melatih mereka berfikir strategis juga merupakan salah satu bentuk program pengembangan.

6. Weaken barriers within hierarchy
Tibalah kita kepada penghambat kinerja paling sakral, yaitu hirarki jabatan. Inilah yang harus kita singkirkan perlahan-lahan. Dampak dari pengkotakan ini sangat terasa mulai dari jobdesc sampai dengan fasilitas yang diberikan kepada karyawan.

Organisasi yang agile tidak lagi dalam bentuk hirarki, melainkan seperti mikro organisme. Mereka dengan leluasa bergerak dari satu fungsi ke fungsi yang lain. ‘Sharing resources’ menjadi hal yang biasa. Atasan dan bawahan tidak lagi dikenal sebagai sebuah jenjang, melainkan hanya sebagai pembagian tugas saja. Komunikasi pun bersifat terbuka dan saling menghormati. Adanya ‘task force’ lintas fungsi menjadi ciri khas yang cukup dominan dalam tim ini.

Dengan cara ini, pengambilan keputusan yang bersifat mendesak dan penting dapat dilakukan dengan cepat pada setiap level.

Itulah sekilas tentang cara bagaimana kita dapat membangun ‘an agile HR team’. Semoga dapat menginspirasi Anda yang tengah berjibaku membangun tim yang tangguh nan solid.

Salam hangat dan selamat berkarya.

3 comments on “Building an Agile Team
  1. Pingback: 4 Elemen Digital Transformation dalam HR - CultureInvent -

  2. Pingback: 4 Elemen Digital Transformation dalam HR - Lukman N.H. -

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *