Kondisi ekonomi nasional yang melemah karena pandemi telah berdampak terhadap kehidupan perusahaan dan para pekerjanya. Menurut data Kemenaker, per tanggal 20 April 2020, jumlah pekerja yang mengalami PHK dan dirumahkan telah tembus angka 2.083.593 dari 116.370 perusahaan. Data tersebut adalah data yang tercatat dan dilaporkan kepada Disnaker. Sedangkan sektor non-formal dan UKM serta pekerja dengan skema kemitraan tentu mencatat angka yang lebih mengerikan lagi.
Sebagaimana kita tahu dan mungkin kita juga mengalaminya bahwa perusahaan telah mengambil berbagai langkah untuk menghadapi kondisi ini. Diantaranya mulai dari memberlakukan WFH, Karyawan diminta mengambil cuti tahunan, unpaid leave, atau bahkan total unpaid leave. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebagian besar telah menyatakan bahwa jika kondisi seperti ini tidak berangsur membaik, mereka hanya mampu bertahan maksimal 5 bulan terhitung dari bulan April 2020.
Gelombang PHK yang massive tersebut dan diprediksi kemungkinan (jika proses pemulihan kondisi ekonomi lamban) akan menghadirkan gelombang yang semakin massive 3 bulan ke depan. Hal ini merupakan alarm (meskipun mungkin agak terlambat) bagi para profesional dan pekerja yang selama ini mengandalkan income rutin dari perusahaan.
Di tengah kondisi ini, layaklah kita mencermati kembali apa yang sebelumnya sudah diprediksikan para expert industri khususnya dalam trend dunia pekerja yaitu apa yang disebut dengan Gig Economy. Konsep Gig Economy sebenarnya bukanlah hal yang baru, sejak dulu para pekerja telah mempraktikkannya. Hanya saja bedanya adalah saat ini semakin massive dan menghilangkan batas teritorial, lintas generasi dan menghinggapi hampis semua bidang pekerjaan.
Mengacu kepada suatu definisi bahwa Gig Economy ditandai dengan adanya pasar tenaga kerja yang sifat hubungan kerjanya tidak terikat kepada satu pihak saja, bersifat jangka pendek untuk mengerjakan sebuah pekerjaan spesifik. Para pekerjanya biasa disebut Gig Workers atau Contingent Worker atau Self Employed.
Apa kaitannya antara PHK masal dan ledakan Gig Economy? Pandemi ini telah menimbulkan efek psikologis yang cukup mendalam karena peristiwa luar biasa ini belum pernah terjadi beberapa dekade sebelumnya. Perusahaan yang sudah berdiri sejak 30 tahun silam, meski pernah diterpa krisis ekonomi berkali-kali dan mampu bertahan, saat ini harus menanggung kepedihan yang hebat dengan adanya pandemi ini. Demikian juga bagi angkatan kerja yang selama ini berada pada posisi kunci perusahaan. Kebanyakan adalah yang baru pertama kali mengalami krisis ini.
Oleh karenanya, muncul para profesional yang mulai berfikir untuk tidak hanya mengharapkan income dari satu tempat saja, melainkan multiple income. Terlebih banyak perusahaan yang akhirnya menawarkan paket kerja sebagai associate atau project based.
Faktor lain yang mempercepat ledakan Gig Workers atau Contingent Workers adalah Internet and Technology Explosion. Penggunaan internet telah terjadi secara masal dan melewati batas teritori serta lintas generasi. Hadirnya teknologi berupa apps dan platform freelance mempercepat ledakan ini. Belakangan kita banyak menyaksikan pergerakan kelas bawah menuju kelas menengah sebagai buah dari pemanfaatan teknologi seperti freelancer.com, Intagram Marketing, Facebook Advertising, Youtube, Blog, Twitter, sampai dengan aplikasi seperti Gojek, Grab, dan sejenisnya. Semua media tersebut menjadi tempat promosi yang cukup ampuh.
Beberapa tahun kemarin kita masih diributkan dengan tuntutan karyawan yang minta status kontrak dihilangkan. Padahal ironinya, justru kedepan, status kontrak itu yang diharapkan oleh para profesional. Dengan skema itu, mereka bisa mengakses berbagai sumber pekerjaan dan penghasilan dari berbagai belahan dunia.
Pertanyaannya, bagaimana kita sukses masuk ke gerbang Gig Economy?
1. Tentukan Specific Expertise
Masuk ke dunia Gig Economy artinya kita benar-benar menjual skill dan keterampilan yang menghasilkan sebuah produk dan jasa yang benar-benar memberikan manfaat bagi penggunanya. Trend ke depan tentunya para pengguna jasa ini menginginkan keahlian yang spesifik dengan tingkat keahlian yang tinggi juga.
Sisi lain persaingan antar freelance juga sangat tinggi. Oleh karenanya, perlu sekali untuk mendirefensiasi keahlian kita agar Stand Out from the Crowd. Ada satu ungkapan yang sangat menarik, your skills level will always determine your income level.
Jadi, tentukan keahlian spesifik apa yang akan dikuasai. Misalnya, bagi yang selama ini berkarir di bidang HRD, keahliannya adalah sebagai Business Trainer, Organization Development, Career Coaching, sehingga dengan keahlian tersebut bisa menjual jasanya dalam bentuk layanan training, pembuatan SOP, pendampingan karir, OD Consulting, dan lain sebagainya.
2. Self-Learning untuk Menjadi Expert
Untuk memiliki expertise yang spesifik dan memiliki nilai jual, maka sudah dipastikan kita harus secara sungguh-sungguh mempelajari dan mempraktikkannya (learning by doing). Memiliki skill yang spesifik dengan tingkat penguasaan yang layak dibayar mahal adalah kunci untuk sukses masuk ke gerbang Gig Economy.
Caranya, cukup alokasikan waktu 1 jam per hari untuk mempelajari sebuah skill yang ingin dikuasai. Baca buku-buku yang relevan dengan bidang keahlian tersebut. Fokuskan disana sampai menjadi ahli dan layak dihargai pasar. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, jadikan tempat Anda kerja sekarang sebagai lab untuk learning by doing. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme, kita mendapatkan peningkatan skill dan keahlian, perusahaan pun mendapatkan manfaatnya.
Saya sendiri sedang mendalami skill dalam bidang Desain Organisasi dan Talent Management. Selama ini saya mengasah kemampuan pada salah satu bidang HRD yaitu Learning and Development. Melalui keterampilan ini, tidak jarang saya mendapatkan tawaran untuk mengisi training di perusahaan-perusahaan dengan tema spesifik yang biasa yang bawakan, misalnya tema-tema leadership, selling skill, service excellence. Dan baru-baru ini mendampingi sebuah lembaga dalam proses pengembangan organisasi (Organization Development).
Jadi, dari pada kita menghabiskan waktu berjam-jam untuk chit chat di sosmed, lebih baik gunakan waktu 1 jam setiap hari untuk mempelajari skill yang menjadi tertentu agar memiliki nilai jual dan laku di pasaran Gig Economy.
3. Membangun Personal Branding yang Bagus
Memiliki kemampuan dan keahlian spesifik saja ternyata tidak cukup, melainkan kita pun harus memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan bahwa kita memiliki keahlian dibidang tertentu, hanya saja caranya tidak hard selling. Melainkan dengan membangun personal branding yang baik melalui aneka media online (Social media) maupun offline (forum-forum yang sesuai dengan keahlian).
Profile yang baik dan menghadirkan beragam portofolio sebagai buah dari kinerja serta tulisan-tulisan di blog, linkedin, facebook serta upload foto kegiatan yang relevan dengan keahlian dan pencapaian di Instagram juga status-status yang memiliki manfaat, ini juga merupakan cara sederhana untuk membangun personal branding yang bagus.
Para pakar digital marketing tentu faham sekali kekuatan jejak digital dalam membangun personal branding untuk meningkatkan profile di era Gig Economy ini. Jadi, fokuskan pada karya nyata sebagai bentuk portofolio, jangan ‘nyampah’ status tidak relevan dengan keahlian dan personal branding yang ingin kita bangun.
Itulah 3 hal yang seyogyanya kita lakukan dalam menyongsong The Rise of Gig Economy Era. Sebuah era yang akan menyaring siapa yang benar-benar berkompeten dalam bidangnya. Dengan menentukan skill spesifik, meningkatkan usaha untuk belajar menjadi expert di bidang yang digeluti, serta membangun personal branding yang menjual, inilah tiga kunci yang akan membuat kita Stand Out from the Crowd.
Welcome to the Rise of the Gig Economy Explosion
Sangat menginfirasi, kita harus memggali kemampuan kita di mana
Nice and good article
Freelancer? Bisa diusahakan sebenarnya.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah masih masif juga perusahaan yang memberikan pekerjaan? Sementara dari data diatas, kita sudah jelas tau bahwa ada 100 ribuan perusahaan yang kukut. Dan tidak semua keahlian bisa dilakukan based on technology dan internet. Tantangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata dan harus melihat dari banyak sudut